Oleh: Ilham Mirzaya Putra, SE*
Biasanya putih identik dengan suatu
hal yang baik, putih berarti suci atau murni. dalam dunia kesehatan putih
berarti steril, sementara dalam dunia bangunan, putih mampu menimbulkan kesan minimalis, kenyamanan dan
ketentraman. Tapi, semua hal ini tidak berlaku dalam politik. Golongan putih
yang sering disebut-sebut dalam dunia politik, justru memberikan ancaman yang
berarti bagi negara.
Memang benar, golongan putih
(golput) tidak memiliki pengaruh berarti bagi pemilu, bahkan sampai mengganggu keabsahan pemilu. Meskipun
jumlah golput lebih besar dibanding jumlah pemilih, tetap saja pemilu dinyatakan sah, begitu ujar
direktur Sigma, Said Salahuddin. Yang paling penting dari pemilu, saya kira
bukan soal sah atau tidaknya, namun lebih pada hasil yang diperoleh dari pemilu
untuk Negara.
Ada kondisi yang cukup mengherankan.
Badan Pengawas Pemilu
(Pemilu) menemukan adanya
sekelompok orang yang terang-terangan menyatakan siap menerima serangan fajar.
Daripada golput, lebih baik menerima durian runtuh di tahun politik, itupun
akhirnya mereka juga golput, akibat merima durian runtuh dari berbagai pihak.
Sementara itu, Badan Intelijen Negara (BIN) menemukan indikasi adanya kelompok
yang mendorong masyarakat untuk golput. Jelas, keberadaan kelompok-kelompok ini
merupakan ancaman bagi penyelenggaraan pemilu yang diharapkan berlangsung aman
dan damai. Ancaman ini akan semakin menjadi-jadi jika dibenturkan dengan banyak
pihak yang menyerukan.anti golput.
Jika kita melihat sejarah pelaksanaan
pemilu, maka kita akan melihat grafik golput yang senantiasa meningkat dari
tahun ke tahun. pada Pileg tahun 1999 angka golput 10,2 %, 2004 sebesar 23,3 % dan pada tahun 2009 menjadi
29 %. Sungguh, angka yang
terbilang cukup fantastis. Bahkan dikabarkan di beberapa media, bahwa
golput-lah sebagai pemenang pemilu tahun 2009. Ironis.
Kondisi
Masyarakat
Kinerja dan Citra anggota
legislative serta institusi pemerintahan yang dinilai buruk turut berkontribusi
meninggikan angka golput. Krisis kepercayaan masyarakat kepada anggota legislatif dan pemerintahan sudah semakin meluas. Banyak
masyarakat mengatakan hal sama, “hanya janji melulu”. Kondisi ini sama seperti
nyamuk yang menggigit manusia, satu yang menggigit semua nyamuk dimusnahkan
alias pukul rata.
Selain itu, banyak masyarakat yang
belum bisa menentukan pilihannya karena begitu banyak pilihan yang muncul.
Belum lagi untaian kepedulian dan materi yang diberikan berbagai partai juga
saling berebut tempat di benak pemilih menjelang pemilu. Hal ini juga turut
menyumbang meningkatnya grafik golput. Kondisi ini sama halnya seperti memilih
jodoh, mau tidak mau ya harus memilih. Tinggal mana yang memberikan harapan
dengan kepastian yang tinggi, karena ini menyangkut masa depan.
Tidak hanya itu, konflik Daftar
Pemilih Tetap yang terjadi setiap kali pemilu, hingga undangan tidak sampai ke pemilih juga menjadi
penyumbang angka golput. Ditambah lagi golongan pesimis yang
menyatakan,”siapapun yang dipilih sama saja, Indonesia terus akan begini,
rakyat terus akan sengsara”. Kondisi masyarakat
sudah diambang batas keikutsertaan Pemilu, tentu harus ada dorongan berbagai
pihak, agar masyarakat mau menggunakan hak suaranya.
Pil Pahit Golput
Golput bukan
merupakan pilihan, kalaupun golput merupakan pilihan, maka itu merupakan
pilihan terburuk. Jika diminta untuk memilih, saya yakin tidak ada satupun
diantara kita mau memilih pilihan terburuk. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
telah jelas menyatakan bahwa golput haram. Artinya, semakin mempertegas bahwa
golput bukan pilihan.
Sangat
disayangkan, jika kita masih menjadikan golput sebagai pilihan. Karena golput
berarti mempertaruhkan masa depan negara. Banyaknya golput mengharuskan partai
politik memperketat penjagaan suara, golput berpotensi diselewengkan dalam bentuk
penggelembungan suara. Alhasil, mereka yang berkepentingan, akan melakukan
money politic atau kecurangan lain demi mendongkrak suara mereka.
Golput lebih
dekat pada pilihan emosional. Karena mereka yang golput biasanya kecewa dengan
perilaku para pemimpin negera, pesimis terhadap masa depan negara, bahkan
mencapai titik apatis. Slogan ‘Pemilih Cerdas, Memilih Pemimpin Berkualitas”
sudah cukup mewakili hubungan antara Pemilih dan yang dipilih. Bahwa pemilih
harus lebih mengutamakan rasionalitas untuk memilih. Pemilih harus mampu melihat
mana pemimpin berkualitas berdasarkan kepribadian, latar belakang, dan track
record.
Koruptor beserta
pendukungnya menginginkan tingkat golput yang tinggi. Karena golput berarti
memperbesar peluang mereka untuk duduk sebagai pemimpin negara. Hal ini harus
dijadikan refleksi, bahwa setiap kita harus menggunakan hak suara saat pemilu
nanti. Setiap kita harus menjadi pemilih cerdas agar para koruptor tak lagi
duduk sebagai pemimpin negara. Setiap kita harus menjadi pemilih berintegritas,
agar para pemimpin negeri benar-benar terseleksi, tidak asal jadi.
Pil pahit golput
jangan lagi ditelan oleh negara. Cukuplah pil pahit golput menjadi kenangan
pahit yang membelajarkan. Lilin
harapan harus terus dinyalakan, meskipun lilin kenyataan hari ini sudah padam.
Tingkat golput yang biasanya terjadi harus ditekan, hingga mampu mendefenisikan hasil pemilu 2014 yang
sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.
0 komentar:
Posting Komentar